PP No 71 Tahun 2010, SILPA Indikasi Masalah Serius Tata Kelola Anggaran Daerah: Antara Manfaat Fiskal dan Ancaman Inefisiensi
WARTAONE.CO.ID — SILPA atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran merupakan salah satu komponen penting dalam laporan pertanggungjawaban keuangan daerah. Secara definisi, SILPA adalah dana yang tidak digunakan dalam tahun anggaran berjalan dan menjadi sisa kas pada akhir tahun. Dalam konteks APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), SiLPA menunjukkan sisa dana setelah seluruh pengeluaran dan kewajiban dibayarkan.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, SILPA adalah bagian dari pelaporan keuangan yang mencerminkan posisi keuangan pemerintah daerah pada akhir periode anggaran. Namun, dalam implementasinya, SILPA dapat memberikan manfaat sekaligus kerugian, tergantung konteks, besaran, dan penyebabnya.
SILPA tidak selalu bermakna negatif. Dalam beberapa konteks, SILPA justru dibutuhkan dan mencerminkan pengelolaan fiskal yang hati-hati dan efisien. Berikut beberapa manfaat SILPA menurut teori kebijakan publik dan keuangan daerah:
1. Menjadi Dana Cadangan atau Dana Siap Pakai untuk Tahun Berikutnya
SILPA dapat digunakan sebagai modal awal pembiayaan anggaran tahun berikutnya, terutama dalam pembiayaan belanja wajib seperti gaji pegawai atau pembangunan berkelanjutan.
“SILPA yang dikelola dengan benar dapat memperkuat kapasitas fiskal daerah di tahun selanjutnya. Ini dapat menjadi instrumen stabilisasi fiskal,” tulis Dr. Rizal Affandi Lukman, pakar kebijakan keuangan publik dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), dalam jurnal Reformasi Fiskal Daerah, Edisi 2021.
2. Mencerminkan Efisiensi Anggaran
Jika terjadi penghematan karena belanja yang direncanakan ternyata bisa dilakukan dengan biaya lebih rendah, maka SILPA yang muncul merupakan bentuk efisiensi dan pengendalian belanja daerah.
3. Menghindari Defisit
SILPA dapat dimanfaatkan untuk menutup defisit anggaran pada tahun berikutnya, terutama ketika pendapatan tidak mencapai target atau terjadi ketidakseimbangan keuangan sementara.
Meskipun SILPA memiliki fungsi fiskal, besarnya SILPA dari tahun ke tahun dapat mengindikasikan masalah serius dalam tata kelola anggaran daerah. Berikut adalah dampak negatif dari SILPA jika tidak terkendali:
1. Cermin Kegagalan Realisasi Program Pembangunan
SILPA besar bisa menandakan bahwa banyak program strategis tidak dijalankan atau tertunda, meskipun telah direncanakan dan dianggarkan.
“Ketika dana publik tidak digunakan, itu artinya pemerintah daerah gagal menjalankan mandat pembangunan. Apalagi jika SILPA terjadi berulang dan besar, itu bukan efisiensi, itu pembiaran,” tegas Dr. Bastian Zaini, peneliti senior Pusat Studi Anggaran DPR RI, dikutip dari Policy Brief Fitra, 2022.
2. Turunnya Kualitas Pelayanan Publik
SILPA berarti dana yang seharusnya digunakan untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, atau bantuan sosial tidak dijalankan tepat waktu. Hal ini merugikan masyarakat luas, terutama kelompok rentan.
3. Inefisiensi Perencanaan dan Lemahnya Kapasitas SKPK
SILPA bisa mengindikasikan bahwa perencanaan program tidak berbasis data dan kebutuhan riil, atau terjadi keterlambatan lelang, lemahnya kinerja SKPK, hingga minimnya pengawasan.
“SILPA yang besar dan berulang menunjukkan lemahnya perencanaan dan rendahnya kualitas belanja publik,” demikian disampaikan oleh Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI, dalam Rakornas Keuangan Daerah 2023 (sumber: setkab.go.id).
4. Risiko Pengendapan Dana dan Tidak Optimalnya Daya Serap
Uang negara yang tidak digunakan secara tepat waktu akan menjadi dana mengendap. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menciptakan inefisiensi fiskal dan memperlemah daya dorong APBD terhadap pertumbuhan ekonomi lokal.
Menurut kajian dari Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), SILPA ideal berada di kisaran 1–2 persen dari total APBD. Jika berada di atas 3 persen, perlu evaluasi mendalam terhadap perencanaan dan pelaksanaan anggaran.
SILPA adalah bagian dari siklus anggaran yang normal, tetapi bukan sesuatu yang bisa dibanggakan jika terjadi secara besar dan berulang. Manfaatnya hanya optimal jika pengelolaannya tepat, transparan, dan benar-benar menjadi alat bantu fiskal.
Namun jika SILPA terjadi akibat kelemahan perencanaan, lemahnya kapasitas teknis, atau ketakutan berinovasi dalam belanja daerah, maka ia menjadi indikator kegagalan pengelolaan keuangan daerah. (Red/PS/MC)
Editor: S Usman